Minggu, 14 November 2021

Menanggapi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 Sebagai Respon Terhadap Kekerasan Seksual Di Kampus

 

Sumber gambar: Tribunnews.com

Pemahaman Umum

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (disingkat Permendikbudristek No. 30), memanen polemik.

Rumusan bentuk Kekerasan Seksual yang menjadi polemik tersebut terdapat pada beberapa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), yaitu:
-    memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban; (huruf b)
-  mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (huruf f)
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (huruf g)
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (huruf h)
-    membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
-  menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; (huruf l)
-     membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban; (huruf m)

Selanjutnya Pasal 5 ayat (3) menegaskan:
(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a.  memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c.  mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d.  mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e.  memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f.   mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g.  mengalami kondisi terguncang.
 
Pihak yang menyoal Permendikbudristek No. 30 tersebut mempermasalahkan bahwa frase atau kata “tanpa persetujuan Korban” tersebut diartikan bahwa kegiatan seksual “dengan persetujuan Korban adalah diperbolehkan.” Nah, apakah pemaknaan atau penafsiran kalimat seperti itu sudah tepat?
 
Saya akan membahas Permendikbudristek tersebut secara lebih luas, tidak sekadar penggunaan istilah “tanpa persetujuan Korban.”

Guna menghindari kesalahpahaman pembaca, lebih dulu saya tegaskan bahwa “Perbuatan Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh warga kampus memang bisa terjadi di dalam atau di luar kampus.” Masyarakat umum juga bisa melakukan Kekerasan Seksual kepada warga kampus.
Tetapi yang jelas, pendapat saya: “perbuatan gendakan seksual di dalam kampus juga merupakan perbuatan yang layak diberikan sanksi administratif, sebab kampus bukan tempat untuk bergendak.” Kalau mau gendakan seksual, jangan di kampus!” Mungkin di pinggir kali juga dilarang warga desa setempat. Jika ketahuan ya digropyok, disuruh kawin.

Yang dimaksud “korban” Kekerasan Seksual menurut Permendikbudristek No. 30 tersebut adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga Kampus, dan masyarakat umum yang mengalami Kekerasan Seksual.
Yang dimaksud dengan “Terlapor” (orang yang diduga sebagai pelaku Kekerasan Seksual) adalah adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga Kampus, dan masyarakat umum yang diduga melakukan Kekerasan Seksual terhadap Korban.
 
Penilaian Saya Terhadap Permendikbudristek No. 30
 
Pertama, definisi Kekerasan Seksual (disingkat KS) menurut Pasal 1 angka 1 Permendikbudristek tersebut, sebagai berikut:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
 
Saya berpendapat bahwa definisi tersebut bermasalah. Jika perbuatan KS harus dilihat atau harus memenuhi unsur "akibat" atau harus ada “potensi akibat” dengan melihat frasa “dapat berakibat”, maka definisi yang bersifat “perbuatan materiil” tersebut dapat menimbulkan tafsir yang tidak tegas. Bisa saja orang beralasan bahwa “akibatnya” atau “potensi akibatnya” tidak terbukti.

Menurut saya, perbuatan KS seharusnya tidak dirumuskan sebagai perbuatan materiil, tetapi cukup dengan perbuatan formil, tanpa perlu melihat akibatnya. Misalnya, Joko bukan suami Fitri, tiba-tiba memperlihatkan alat kelaminnya kepada Fitri, maka perbuatan tersebut harus dianggap sebagai perbuatan KS, tidak perlu melihat akibatnya pada Fitri. Masalahnya akan timbul, jika semula Fitri mempermasalahkan Joko yang memperlihatkan penisnya kepada Fitri, tapi setelah kasusnya ditangani lalu Fitri "disuap" dan selanjutnya berbalik menyatakan "menyetujui", maka apakah KS dapat diselesaikan dengan metoda restorative justice, dan si Joko tidak jadi diberikan sanksi administratif, sebab unsur "tanpa persetujuan Korban" menjadi lenyap? 

Dengan rumusan perbuatan formil tersebut (hanya melihat perbuatannya), maka sudah otomatis korban akan terlindungi, baik si korban merasa menjadi korban atau tidak. Soal bahwa apakah Fitri harus diberikan terapi atau konseling, itu tetap harus dilakukan yang tentunya tanpa paksaan kepadanya. Karena kondisi psikologis itu sifatnya subyektif.

Saya membandingkan perbuatan KS dengan perbuatan kekerasan dalam bentuk “kekerasan secara bersama-sama” atau pengeroyokan dalam Pasal 170 KUHP, baik kekerasan kepada orang atau barang, dirumuskan sebagai delik formil. Tanpa melihat akibatnya. Hukumannya adalah  penjara selama paling lama 5 tahun. Jika menimbulkan akibat kepada korban (delik materiil), maka hukumannya menjadi lebih berat (di ayat 2).

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dirumuskan definisi KS:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Rumusan pidana KS dalam RUU tersebut juga delik materiil, yakni harus melihat akibatnya dulu untuk dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan KS. Jadi, delik semacam itu hanya melihat perasaan korban, tetapi tidak melihat perasaan norma atau nilai umum yang diakui oleh masyarakat, dan melawan nalar keadilan.

Meskipun seandainya korban tidak mengalami penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik, apakah perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa tersebut tidak layak disebut sebagai kejahatan KS?

Jika ada orang yang menjawab, “Perbuatan KS sudah pasti menimbulkan derita korban”, maka saya tanggapi, “Lantas, apa gunanya merumuskan “akibat” dari perbuatan yang membuat hukum acara bertele-tele harus membuktikan akibatnya? Seandainya akibat itu dianggap sebagai fakta yang tidak perlu dibuktikan (notoir feit), bukankah merumuskan akibatnya di dalam definisi KS itu adalah sia-sia dan pemborosan kata-kata?”

Orang yang tidak berpengalaman dalam praktik penegakan hukum mungkin tidak menyangka bahwa kelemahan kalimat dalam suatu Undang-Undang bisa menjadi bahan dan argumentasi untuk meloloskan orang dari kejahatannya. Jadi, enyahkan kalimat-kalimat yang sia-sia yang berpotensi menjadi dalih untuk membebaskan para pelaku kejahatan, termasuk dalam kejahatan seksual!
 
Kedua, terminologi “kekerasan” merupakan istilah “kejahatan.” Makna secara leksikal dari “kekerasan” adalah sama dengan “paksaan”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “kekerasan” ialah “perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.” (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal. 677).
Definisi kamus tersebut juga bersifat perbuatan materiil, yakni melihat akibatnya. Padahal, andaikan si korban tidak mengalami cedera fisik, tetap saja perbuatan kekerasan merupakan kekerasan. 

Dalam perkembangan hukum, kekerasan tidak hanya berdimensi fisik, tetapi juga psikis, seperti contohnhya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Misalnya perbuatan seorang suami membentak-bentak isterinya atau pembantu rumah tangganya, itu sudah merupakan perbuatan KDRT yang dapat dipidana menurut Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 5 huruf b.

Oleh karena perbuatan KS dalam kategori perbuatan tertentu merupakan tindak pidana, maka dalam asas Hukum Pidana berlaku asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Dengan diterbitkannya Permendikbudristek No. 30 tersebut, maka dapat dikatakan bahwa “Hukum Administrasi dapat lebih dulu berjalan dibandingkan dengan Hukum Pidana.” Artinya, bisa ada pertanyaan hukum: “Mengapa hukum pidananya tidak dijalankan lebih dulu?”

Saya mencoba mengambil perbandingan dengan Hukum Ketenagakerjaan. Dahulu UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan memuat pasal tentang alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengusaha atau Majikan dengan alasan bahwa pekerja melakukan tindak pidana (Pasal 158). Namun, Pasal 158 UU Ketenagakerjaan tersebut akhirnya tidak berlaku berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 012/PUU-I/2013. 

Salah satu pertimbangan hukum MK dalam putusannya tersebut adalah bahwa karena Pasal 158 (UU Ketenagakerjaan) memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku.

Nah, seandainya seorang dosen atau mahasiswa laki-laki menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban (perbuatan KS menurut Pasal 5 ayat (2) huruf a Permendikbudristek No. 30), apakah tidak harus melalui due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial sebagaimana menurut Putusan MK No. 012/PUU-I/2013 tersebut? Seharusnya pelaku dipidanakan lebih dulu, dan setelah adanya putusan Pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan pelaku bersalah, maka barulah si pelaku dijatuhi hukuman administrasi menurut Permendikbudristek No. 30 tersebut.

Ketika terbit dan berlaku Permendikbudristek No. 30 tersebut, di situ ada persinggungan hukum pidana dengan hukum administrasi negara. Namun, memang boleh suatu tindak pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan – dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap - dijadikan alasan untuk meneruskan dengan sanksi administrasi oleh Pejabat atau Lembaga administrasi yang berwenang, sepanjang memenuhi asas legalitas, apalagi sanksi yang  bersifat mencabut suatu hak, termasuk hak atas pendidikan.

Apakah seorang pelaku KS layak dan adil jika dicabut haknya atas pendidikan di suatu perguruan tinggi? Jika layak dan adil, apakah pencabutan hak tersebut harus permanen ataukah cukup untuk sementara waktu? Ini merupakan perdebatan filosofis yang saya sendiri belum bisa berpendapat secara tepat. Para ahli hukum pidana tentu akan bisa berdebat tentang konsepsi pemindanaan (penghukuman pidana) sebagai pembalasan ataukah sebagai pembinaan. 

Apakah sistem hukum di negara-negara Barat tertentu yang mengucilkan para pelaku KS itu sudah selaras dengan konsep pembinaan dalam Hukum Pidana? Jika dinilai bahwa "pelaku KS harus dibalas dengan cara dikucilkan", maka berarti konsep penjatuhan hukum pidana sebagai pembinaan tidak berlaku dalam perkara pidana KS. 

Hukum pun juga bisa bertanya: "Mengapa hukum harus membedakan perlakuan dalam konsep pemidanaan antara pelaku kejahatan pembunuhan, penganiayaan berat, dengan kejahatan KS?" Jika seorang penjahat KS dikucilkan, dilarang bekerja di manapun, apakah tidak lebih baik dihukum mati saja? Sementara hukuman mati juga ditentang para aktivis HAM.
Itu dibutuhkan pemikiran mendalam, tidak sekadar berlandaskan pada emosi. Tetapi di dunia selalu ada pertarungan dan dialektika ide. Saya sendiri harus berhati-hati dalam memutuskan pendirian di soal itu. 

Ketiga, saya akan turut menanggapi tentang keberatan orang-orang yang menafsirkan bahwa frasa “tanpa persetujuan Korban” dapat diartikan bahwa “KS yang dengan persetujuan Korban adalah diperbolehkan atau sah.”

Penyusun Permendikbudristek No. 30 tersebut mungkin lupa atau sengaja, bahwa terdapat ketentuan perbuatan KS dalam bentuk “membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban” di Pasal 5 ayat (2) huruf j yang tidak dimasukkan dalam kategori “Persetujuan tidak sah” menurut Pasal 5 ayat (3).

Artinya, apakah perbuatan KS dalam bentuk “membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban” yang dilakukan kepada korban anak di bawah umur, perempuan di bawah pengaruh alkohol atau narkotika, dan kondisi-kondisi “tidak normal” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) tersebut, maka persetujuan korban dinilai sah? Ini salah satu cacat Permendigbudristek No. 30 tersebut.

Kembali pada soal pelemik tentang frasa “tanpa persetujuan korban” tersebut. Saya ambil contoh perbuatan KS dalam bentuk “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan Korban.” Secara a contrario atau makna sebaliknya, jika perbuatannya dalam bentuk menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, maka perempuan tersebut “tidak dikatakan sebagai korban” atau “bukan korban” dan perbuatan tersebut bukan merupakan KS. 

Betul, memang perbuatan seksual yang dengan persetujuan perempuan seperti itu bukanlah merupakan KS, tetapi apabila perbuatan seksual alias “gendakan seksual” semacam itu dilakukan di dalam kampus maka tentu itu akan menyalahi fungsi kampus sebagai tempat pendidikan.

Perbuatan seksual berupa kegiatan seksual dalam kampus tersebut juga layak diberikan sanksi administrasi, misalnya dengan Surat Peringatan: “Kalian kalau gendakan cari tempat lain, jangan di kampus!” Jika mokong, diskorsing. Jika seumpama pasangan gendakan tadi melakukan kegiatan seksual di pinggir kali pun jika ketahuan orang ya bisa digropyok penduduk berdasarkan nilai dan kontrol sosial yang berlaku  di masing-masing masyarakat.
 
Kesalahpamahan sebagian warga masyarakat terhadap Permendikbudristek No. 30 tersebut masih dapat dipahami, sebab Permendikbudristek tersebut mengategori perbuatan KS adalah perbuatan yang “tanpa persetujuan korban”, tetapi di sisi lain tidak menentukan aturan tentang bagaimana dengan perbuatan seksual dalam kampus yang bukan kategori KS. Walaupun orang-orang tertentu paham bahwa terhadap perbuatan asusila yang tidak termasuk KS tetap dapat diberikan sanksi administrarif berdasarkan Peraturan Kampus yang sudah ada.

Permendikbudristek No. 30 tersebut seharusnya menentukan pasal khusus bahwa terhadap perbuatan seksual di dalam kampus yang tidak termasuk KS harus diberikan sanksi berdasarkan Peraturan Perguruan Tinggi masing-masing. Karena, sekali lagi, kampus dibangun bukan untuk tempat gendakan. Kecuali jika gendakan dilakukan di luar kampus, itu urusan yurisdiksi di luar kampus. Suatu peraturan perundang-undangan hendaknya memaksimalkan potensi untuk tidak disalahpahami. 

Saya yakin, bahwa semua orang tidak setuju dengan kekerasan seksual, termasuk para pelakunya sendiri juga paham bahwa dia melakukan perbuatan yang jahat dan kejahatannya harus diberikan hukuman yang berat. 
 
Demikian ulasan saya. 

Kamis, 30 Mei 2019

Makar dan Menghina Presiden: Mengapa Hukum Jadi Rusak?


Sudah biasa, saat di media sosial facebook saya berkomentar mengritik rezim Jokowi, maka saya dituduh sebagai kampret. Padahal saya ini tergolong batman (pria kelelawar), karena suka begadang malam, meski begadangnya di rumah. Jika tulisan ini dinilai sebagai tulisan kampret, ya silahkan. Saya harus memaklumi zaman aneh ini. Jika tidak maklum ya bisa ikutan stress. 

Memang. Demokrasi di masa sekarang ini selain harus menghadapi rezim yang tidak cukup demokratis ini, juga harus menghadapi serangan-serangan opini norak dari para pendukung Jokowi yang fanatik. Mereka gampang menuduh seseorang sebagai kampret (Pendukung Prabowo). Padahal kalau disuruh membuktikan di muka forum hukum seperti di pengadilan atau di kantor polisi, bahwa saya adalah kampret, mereka akan kejang-kejang otak karena tidak mampu, hanya mendasarkan pada prasangka.

Tapi masih ada waktu bagi mereka untuk menjadi manusia normal, minimal seperti zaman rezim SBY yang tidak ada kelompok manusia seperti itu. (Pendukung Jokowi yang rasional tentu tidak termasuk dalam kategori yang perlu diberikan konsultasi psikologi. Maaf ini kayak kalimat rayuan…. hiks hiks…. ).

Seharusnya cara pikir yang normal adalah: kebenaran itu tidak peduli ada pada siapa, golongan siapa. Meskipun seandainya ada orang yang karuan menjadi penjahat, maka si penjahat ini hanya boleh dihukum atas dasar perbuatannya, bukan dihukum terhadap hal yang tidak diperbuatnya.

Begitupun siapapun orangnya, apakah dia jokower, prabower, yudhoyonoer, gusdurer, suhartoer, sukarnoer, habibier, megawatier, dan lain-lain, jika mereka ini menjadi korban ketidakadilan, ya layak untuk dibela haknya. Mereka hanya boleh dihukum terhadap kesalahan yang diperbuatnya sesuai aturan hukum. Tapi bukan untuk dicari-cari kesalahannya, lalu dipaksakan hukum yang sebenarnya tidak pas. Jangan dzalim!

Kalau saya tanyakan kepada para pendukung Jokowi: “Mengapa Jokowi tidak mengeluarkan keputusan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang katanya Prabowo juga sebagai terduga yang terlibat? Apakah itu kesengajaan baginya untuk mengabadikan lawan politik yang secara opini cacat hukum dan moral sehingga lebih mudah baginya untuk mengalahkannya? Ataukah ada pertimbangan lain yang masyarakat tidak tahu? Kan tahun 2009 Prabowo juga bergandengan tangan politik dengan Megawati? “
Bahkan Jokowi  sendiri mengakui bahwa karir politiknya juga ada peran Prabowo, meski menurut Jokowi bahwa Prabowo bukan peran yang utama.” (Kompas.com, 27/3/2014).

Mengapa para aktivis HAM para pendukung Jokowi malah melupakan tugas dan misinya agar presiden yang didukungnya itu membereskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu? Termasuk jika perlu juga mengadili Prabowo, agar jelas dan tidak hanya menjadi bahan gosip politik? Padahal itu penting. Berani nggak? Mengapa tidak berani? Kalau sekarang gampang membuat isu “makar”, lalu mengapa tidak berani membuat Pengadilan HAM adhoc yang sudah jelas ada bahan dokumen penyelidikan dari Komnas HAM? Apa jawabmu? Pasti mbulet.

Sekarang saya akan bicara tentang makin rusaknya hukum di negara ini, yang barangkali gara-gara sentimen atau sensitivitas politik. Sepertinya hukum sudah menjadi alat politik, baik politik kekuasaan dan kepentingan ekonomi orang-orang besar.

Pertama, penerapan delik makar.

Masih ingat kejadian ditangkapinya para tokoh oposan seperti Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Sukarnoputri dan kawan-kawan tanggal 21 Desember 2016. Hingga sekarang kasusnya bagaimana, tidak jelas. Lalu pasal makar tersebut dipergunakan lagi untuk menahan Eggi Sudjana dan Kivlan Zen.

Saya juga membaca berita di iNews.id tanggal 21 Mei 2019 bahwa seorang bernama Miko Napitupulu melaporkan jenderal Djoko Santoso, dkk yang berada di grup politik Prabowo, ke Kepolisian dengan tuduhan melakukan delik menurut UU No. 1 Tahun 1946, pasal 110 jo. pasal 108 ayat (1) KUHP, dan atau Pasal 163 bis jo. Pasal 146 KUHP. Laporan Polisi nomor STTL/327/V/2019 Bareskrim. Katanya, dugaan makar itu terkait dengan seruan Amin Rais untuk melakukan people power.

Sebenarnya, apakah delik (tindak pidana) makar itu? Delik makar diatur di dalam Buku Kedua Bab I KUHP, yang dapat dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut:
Pertama, makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan atau menghilangkan kemampuan Presiden dan Wakil Presiden dalam memerintah. Ini ada di Pasal 104 KUHP. Kedua, makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau memisahkan sebagian wilayah Indonesia. Ini ditentukan di Pasal 106 KUHP. Ketiga, makar dengan maksud menggulingkan pemerintah. Ini ditentukan Pasal 107 KUHP. Keempat, makar dengan cara pemberontakan bersenjata. Ini ditentukan Pasal 108 KUHP.
Perbuatan yang termasuk menjadi ciri-ciri makar juga disebutkan di Pasal 110 KUHP.

Tidak cukup hanya membaca pasal-pasal bentuk perbuatan makar tersebut. Tapi juga harus membaca Pasal 87 KUHP yang menggariskan: “Dikatakan ada makar untuk melakukan perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 53.”

Pasal 53 KUHP dikenal dengan pasal “percobaan”, yang pada intinya: “Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan karena kehendak pelakunya itu sendiri.” Misalnya, Parto sedang mengarahkan senjata mau menembak presiden. Tapi ada Juminten yang menendang tangan Parto sehingga senapan Parto jatuh. Misalnya lagi, sekelompok orang yang jumlahnya seribu orang sedang menuju istana presiden dengan tujuan mau menculik presiden, tapi begitu di depan istana mereka dibekuk para pengawal istana (meski ini contoh tentang orang-orang yang bodoh, sebab bagaimana bisa sekelompok orang mau menculik presiden di istana yang dijaga berlapis, kecuali mereka kelompok Avengers).

Jadi, untuk dikatakan makar, perbuatan itu harus sudah dimulai dengan suatu tindakan. Kalau hanya seruan people power yang tujuannya hanya untuk demonstrasi, ya bukan makar. Jangankan hanya seruan people power yang tujuannya bukan menggulingkan pemerintahan, jika seandainya Mbah Amin Rais menyerukan agar rakyat menggulingkan pemerintah, tapi kalau tidak ada orang yang bergerak, maka Mbah Amin Rais hanya termasuk kategori “penganjur” yang disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (2) KUHP yang menggariskan, “Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.” Jadi, jika seruan atau anjuran makar itu tidak menimbulkan akibat perbuatan makar, maka si penganjur tidak bisa dihukum. Sama halnya ketika saya misalnya meminta Parjo untuk membunuh Sumi, tapi Parjo hanya datang untuk menakut-nakuti Sumi, maka saya tidak bisa dipidana.

Apalagi ternyata Kapolri sendiri (Tito Karnavian) bersama dengan Menkopolhukam (Wiranto) telah mengumumkan bahwa ternyata tujuan aksi perusuh 22 Mei 2019 adalah untuk membunuh Jenderal Wiranto, Jenderal Hendropriyono, Kepala BIN (Jenderal Budi Gunawan), dan Komjen Gories Mere (staf khusus Presiden Jokowi). Artinya, pemerintah sendirilah yang  justru membuktikan sendiri bahwa kerusuhan 22 Mei 2019 yang dikaitkan dengan kata “people power” itu tujuannya untuk membunuh empat tokoh pemerintah itu, bukan untuk membunuh presiden dan wakil presiden atau menggulingkan pemerintah.

Kedua, delik penghinaan kepada presiden

Mahkamah Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006  sudah melenyapkan Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP tentang penghinaan kepada presiden dan atau wakil presiden. Mengapa? Zaman sekarang, presiden dan wakil presiden harus dipersamakan dengan orang-orang lain dalam soal citra diri. Jika misalnya presiden Jokowi dihina orang, maka kalau dia mau memidanakan si penghinanya, dia harus mengadu ke Kepolisian, menggunakan pasal 310, 311 atau 315 KUHP. Pasal eksklusif yakni Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP bisa dijadikan alat tirani kekuasaan. Makanya dihapus. Harga diri pribadi presiden Jokowi dan wakil Presiden Jusuf Kalla sama dengan harga diri Miko, Siti dan Paijem yang rakyat biasa. Ini bukan zaman feodal.

Ketentuan Pasal pencemaran nama menurut UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang semula bukan delik aduan, diubah menjadi delik aduan dengan UU No. 11 Tahun 2016 (Pasal 45 ayat 6). Karena ancaman pidananya maksimum 4 (empat) tahun, maka berdasarkan pasal 21 KUHAP si tersangka pencemaran nama atau penghinaan melalui medsos juga tidak boleh ditahan selama masa pemeriksaan perkara dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan, hingga Hakim memutuskan yang bersangkutan salah atau tidak, terbukti melakukan penghinaan atau tidak. Penghinaan itu itu bentuknya serangan kepada pribadi, bukan kritik terhadap pekerjaan jabatan. Makanya pasal 310 KUHP menentukan, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.”

Jadi, kalau ada orang yang menghina presiden melalui saluran media elektronik, misalnya melalui Youtube, facebook atau twitter, si penghina presiden Jokowi tidak boleh langsung ditangkap. Harus melalui proses: (1) adanya pengaduan presiden Jokowi ke Kepolisian, (2)  lalu atas dasar pengaduan itu penyelidik atau penyidik memeriksa persiden Jokowi untuk dimintai keterangannya sebagai saksi korban, (3) lalu memeriksa saksi-saksi dan bukti lainnya, dan terakhir melakukan panggilan tertulis kepada orang yang diduga menghina presiden Jokowi itu. Jika si terlapor / orang yang diadukan itu telah dipanggil oleh penyelidik atau penyidik Kepolisian tiga kali berturut-turut tetapi tidak mau datang tanpa alasan yang sah, maka polisi dapat menghadirkan secara paksa dengan menjemputnya, tetapi tidak boleh dilakukan penahanan kepada terduga penghinaan itu.

                                               Sumber foto: liputan6.com

Ingat nggak saat SBY dihina seorang politisi Partai Bintang Reformasi, Zaenal Ma’arif? Karena sudah ada putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang menghapus pasal penghinaan kepada presiden secara khusus tersebut, maka SBY tanggal 29 Juli 2007 datang ke Polda Metro Jaya membuat pengaduan dan dilayani Polisi seperti orang biasa pada umumnya, meskipun dia Presiden. Selanjutnya Zaenal Maarif pun diperiksa tanpa ditangkap dan ditahan.

Lalu mengapa sekarang ini selalu terjadi penangkapan kepada para penghina Jokowi tanpa melalui proses hukum seperti yang saya jelaskan di atas itu?

Bagaimana jika seandainya polisi menerapkan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE untuk menjerat penghina Presiden? Itu dzalim. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Pasal 45 A ayat (2) UU ITE itu menentukan: “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Jadi, pasal ini berkaitan dengan kebencian atau permusuhan yang tekait SARA yang harus dibedakan dengan delik penghinaan.

Kepada orang-orang yang ditangkap dan ditahan dengan tuduhan penghinaan kepada presiden, orang-orang itu dapat menempuh upaya hukum praperadilan, yakni mengajukan permohonan permohonan pemeriksaan praperadilan melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum kepolisian yang melakukan penangkapan itu. Orang biasa menyebut “gugatan praperadilan.” Sebab, penangkapan dan penahanan demikian itu tentu tidak sah. Lalu bagaimana mereka bisa mengajukan gugatan praperadilan dalam keadaan dalam tahanan? Keluarganya bisa mengurus itu. Hakim yang jujur pasti akan mengabulkan permohonan praperadilan dan memerintahkan tersangka dilepas atau dibebaskan, karena proses yang salah itu.

Perbuatan menghina memang tidak baik. Penghina jelas buruk kelakuan. Tapi dalam perspektif hukum pidana, urusan penghinaan kepada presiden pun adalah urusan pribadi antara korban penghinaan dengan si penghina. Sesuai dengan dasar hukum yang sudah saya jelaskan di atas. Jika korban penghinaan (termasuk Presiden) tidak melapor/mengadukan ke kepolisian, maka polisi dilarang untuk sewenang-wenang melakukan penangkapan.  Ini negara demokrasi, bukan kerajaanmu!

Sebenarnya masih banyak yang perlu diulas, termasuk bagaimana delik penyebaran ajaran komunisme bisa menimpa seorang petani lulusan Madrasah Tsnawiyah seperti Budi Pego di Banyuwangi dan kasus-kasus kriminalisasi yang menimpa petani, nelayan dan para buruh yang tidak mau tunduk melayani kehendak kekuasaan ataupun para tuan kaya, termasuk yang menimpa Pak Darno dan Dian Purnomo di Surabaya, Mashuri, Dwi dan Sagung di Tuban, dan lain-lain.

Tapi anehnya pengadilan juga terkadang membuat putusan-putusan yang memang aneh, memperluas jangkauan hukum ke dalam area kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi. Bagaimana misalnya orang yang tidak paham apa itu komunisme kok dihukum penjara dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme, gara-gara orang itu menolak pertambangan emas yang mencemari lingkungan hidupnya? Bagaimana pula orang dihukum atas dasar keterangan saksi dari perusahaan yang bertentangan dengan keterangan banyak saksi dari masyarakat sendiri?

Hukum makin rusak, karena hukum dipakai untuk memuluskan kepentingan-kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi. Ternyata republik ini adalah feodalisme yang dibungkus dengan kesan modernitas. Negara hanyalah alat orang-orang berkuasa secara politik atau ekonomi untuk meneguhkan dan menambah kekuasaan mereka dengan menjadikan rakyat sebagai tumbalnya.

Jumat, 22 Maret 2019

Propaganda Palsu dan Murahan Jelang Pilpres 2019


Sumber foto: Kompas

Pengalaman mengikuti riwayat politik di negara ini, sejak dilaksanakannya pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara langsung oleh rakyat tahun 2004 hingga sekarang ini. Kali ini keadaannya paling memuakkan. Paling jorok.  Banyak tukang fitnah teriak fitnah.

Coba lihat sikap rezim ini kepada kaum golput (orang yang tidak mempergunakan hak pilihnya). Kaum golput inilah termasuk yang menjadi sasaran propaganda-propaganda yang berupa informasi dan opini palsu itu.

Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela Negara 2018 – 2019. Lucunya, Inpres ini baru dikeluarkan tanggal 18 September 2018. Padahal judulnya “Rencana Aksi Bela Negara 2018 – 2019.” Tahun 2018 sudah mau habis saat Inpres itu dikeluarkan. Saya menduga itu ada kaitannya dengan kepentingan Pilpres 2019. Tapi alangkah brengseknya seandainya instrumen kekuasaan negara dipakai untuk kepentingan politik golongan. Harusnya golongan itu mengabdi kepada kepentingan negara, bukan instrumen politik negara dipakai untuk kepentingan golongan. Mau bilang itu Pancasilais?

Saya tidak tahu apa pertimbangan rezim ini, saat Presiden mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2018 ketika Inpres tersebut menganggap golput itu sebagai “ancaman faktual.” Rezim Jokowi mengambil langkah bahwa pemerintahannya harus melakukan usaha-usaha agar partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih meningkat. Tapi nadanya “antigolput.” Seolah tidak paham bahwa golput itu hak politik, bukan aib bukan cela.

Sosialisasi gerakan anti golput dilakukan melalui media sosial, seminar, iklan layanan masyarakat, ceramah, dialog interaktif/diskusi. Penanggung jawab upaya-upaya itu adalah Sekjen Dewan Ketahanan Nasional dan Menkopolhukam. Instansi yang terkait adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kominfo, Kementerian Agama, Kemenristekdikti dan Pemerintah Daerah. Demikian yang tertulis dalam Inpres tersebut.

Di media sosial facebook, saya mengamati memang para pendukung Jokowi gigih dalam mengolok-olok umat golput. Dituduhnya umat golput itu sebagai kaum putus asa yang tidak peduli dengan masa depan negara. Sekali waktu kaum golput itu dituduh sebagai “orang bayaran” yang sebenarnya pendukung Prabowo. Alamak….sampai segitunya?

Entah kebetulan atau tidak, muncul pula tulisan opini Romo Franz Magnis Suseno di Koran Kompas yang mengolok orang golput sebagai orang bodoh, jiwanya tidak stabil, benalu. Kok nyambung dengan Inpres No. 7 Tahun 2018 tersebut? Memang ada konektornya, ataukah memang Sang Profesor Filsafat itu sejiwa dengan Inpres tersebut? Biarlah hanya kipas angin yang tahu.

Kaum golput ini memang menjadi sasaran propaganda. Ada banyak pendukung Jokowi yang membuat hayalan, termasuk ada kyai serta doktor. Katanya, Pilpres 2019 adalah pertarungan antara kelompok kebenaran / Pancasila melawan kelompok radikal. Jika Jokowi tidak memang maka Indonesia berada di dalam bahaya. Indonesia akan menjadi Suriah.

Propaganda murahan dan palsu itu pernah dipakai oleh para pendukung Ahok dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur (Pilgub) Jakarta di waktu yang lalu itu. Katanya, jika Ahok kalah maka Indonesia akan menjadi Suriah. Ahok juga pernah kalah dalam Pilgub Bangka-Belitung 2007, dan Bangka Belitung tidak menjadi Suriah gara-gara Gus Dur yang kampanye untuk Ahok pada waktu itu tidak berhasil membuat Ahok menang. Jakarta sebagai ibukota negara dan Indonesia sebagai negara, sekarang juga tidak menjadi Suriah. Malah banyak orang korupsi dan gendakan secara bebas di Jakarta, sama seperti dulu-dulu.

Orang-orang yang membuat propaganda palsu dan murahan itu sebenarnya patut dikasihani. Mereka tidak akan pernah membuat kaum golput menjadi percaya dan bodoh dengan membaca propaganda-propaganda palsu itu. Kasihan mereka buang-buang emosi dan karangan. Kecuali bagi yang diberikan honor untuk tugas itu ya jadilah itu matapencaharian insidentil. Kan, The Guardian sudah pernah memberitakan hasil investigasinya tentang berapa-berapa duit penghasilan para buzzer politik itu. Itu pekerjaan apa? Kalau cari duit dengan menyebar propaganda dan informasi palsu-palsu ya itu duit nista. Lebih buruk dibandingkan duit germo gigolo yang tidak membuat usaha-usaha  agar masyarakat menjadi bodoh dan tersesat. Maha jorok para buzzer dengan segala kebohongannya itulah yang merupakan bahaya bagi negara, memecah-belah emosi persatuan rakyat. Segera tobatlah kalian! Jauh lebih terhormat para buruh pekerja bangunan jalan tol yang hasil kerja kerasnya diklaim sebagai “prestasi Jokowi!”

Bahwa Pilpres ini tak lain dan tak bukan hanyalah persaingan untuk memperoleh kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang ideologi dan karakternya sama: yakni para pemburu kekuasaan, yang dahulu kawan, sekarang jadi lawan dan kapan-kapan akan menjadi kawan lagi.

Jika kubu Jokowi menuduh bahwa kubu Prabowo merupakan kubu kaum radikal atau ekstrimis yang harus dilawan, mengapa Jokowi tidak mengeluarkan Perppu untuk membubarkan Partai Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat yang mengusung Prabowo – Sandi? Kan mereka ini dianggap ancaman Pancasila?

Padahal di kubu Prabowo juga ada orang-orang NU dan Muhammadiyah. Juga ada orang-orang Islam, banyak pula orang Kristen dan lain-lain. Lha masak orang-orang NU, termasuk para kyai NU dan orang-orang Muhammadiyah, serta orang-orang Kristen di kubu Prabowo itu merupakan kaum radikal yang membahayakan Pancasila?

Mari gunakan nalar yang benar. Jika kubu Prabowo adalah kubu kaum yang berbahaya bagi negara, ancaman bagi Pancasila, lha ke mana saja selama ini Prabowo dan para pendukungnya yang kalah beberapa persen dari Jokowi – Kalla dalam Pilpres 2014 lalu? Mengapa kok diam tidak bikin onar di negara ini? Apakah faktor Partai Golkar, partai juara politik Orde Baru itu, pindah ke kubu Jokowi?

Apakah karena HTI? Kalau karena faktor HTI, ke mana pilihan politik orang-orang HTI tahun 2014? Kalau misalnya HTI memilih Prabowo? Mengapa sampai kemudian HTI itu dibubarkan oleh pemerintah Presiden Jokowi kok HTI tidak melakukan perlawanan dengan senjata kepada rezim Jokowi? Katanya mencontoh yang terjadi di Suriah.

Apakah kubu Prabowo yang dinilai sebagai kubu radikal itu karena ada HTI yang sudah dibubarkan rezim Jokowi sehingga HTI akan mendorong Prabowo untuk melegalkan kembali HTI jika Prabowo terpilih menjadi presiden? Itu juga masih hayalan. Angan-angan.

HTI yang sudah ada sejak zaman Suharto itu sebenarnya juga bukanlah ancaman bagi NKRI. Tapi sekarang HTI dan khilafah dipakai alat untuk menakut-nakuti orang, seperti halnya PKI dan komunisme juga dipakai sebagai hantu.

Sebenarnya itu hal yang sangat jauh, hanya menjadi angan-angan bahwa ide khilafah itu akan menjadi kenyataan di Indonesia. Jika hendak dipersamakan dengan Suriah, HTI bukanlah kelompok oposisi bersenjata seperti kelompok oposisi di Suriah yang didanai oleh Amerika Serikat dengan target menjatuhkan Presiden Bashar Al Assad. Di Indonesia tidak ada pemimpin muslim seperti Bashar Al Assad yang dibenci oleh Amerika Serikat dan Israel. Di Indonesia juga tidak ada milisi bersenjata yang menjadi opisisi yang didanai oleh Barat, seperti yang terjadi di Suriah.

Kalaupun ada teroris, itu adalah teroris yang merupakan jaringan global dari sisa-sisa Alqaedah dan ISIS yang sudah mau bankrut dan game over itu. Tapi di sepanjang zaman, dari zaman prasejarah hingga akhir zaman ya teroris akan selalu ada. Kalau sekarang ada teror di Selandia Baru yang dilakukan oleh orang bule, bukan berarti di sana akan menjadi seperti Suriah.

Kalau soal bom teror, di Eropa juga sering terjadi. Di Amerika banyak orang stress yang membunuhi orang dengan senjata api. Ada golongan supremasi kulit putih. Teroris itu dari berbagai macam golongan, ada orang Islam dan Kristen. Di Myanmar terorisnya ya orang Budha. Amerika Serikat itu teroris yang menghancurkan Timur tengah. Amerika Serikat juga teroris yang membantu pemberontakan Permesta di zaman Sukarno itu. Amerika Serikat juga termasuk menyokong terjadinya peristiwa pembantaian dalam G 30 S / PKI agar Sukarno jatuh.

Kalau mau mengukur berapa sih orang Islam Indonesia yang bener-benar Islam, itu sebenarnya juga kecil. Pemeluk Islam yang benar-benar Islam itu kebanyakan adanya di lingkungan pesantren-pesantren. Di desa kelahiranku dan sekitarnya di Nganjuk sana, sebuah desa yang warga muslimnya 100 persen, paling hanya sekitar 25 – 30 persen yang paham apa itu agama Islam. Kebanyakan ya Islam KTP. Jadi, kekhawatiran atau ketakutan bahwa HTI atau siapapun kelompok Islam yang mau menjadikan Indonesia menjadi negara Islam itu adalah mimpi, hayalan. Itu cuma dipakai sebagai alat propaganda untuk meneguhkan dan mempertahankan kekuasaan. Jangankan HTI, partai-partai Islam seperti PPP dan PKS saja selalu di urutan bawah.

Kalau HTI dakwah tentang khilafah, coba baca buku Fiqih Islam karangan Sulaiman Rasjid yang sudah ada sejak Orde Lama hingga sekarang. Buku itu juga membahas fiqih siyasah tentang Khilafah. Padahal Sulaiman Rasjid itu juga jadi pegawai negeri di zaman Sukarno. Sulaiman Rasjid di zaman Belanda dijadikan Ketua Panitia Penyelidik Hukum Agama di Lampung. Di zaman Sukarno dia menjadi Kepala Jawatan Agama Jakarta, staf ahli Kementerian Agama serta Guru Besar Ilmu Fiqih. Seumpama H. Sulaiman Rasjid hidup zaman sekarang dan menjadi pegawai pemerintah, mungkin dia akan dipecat karena buku fiqihnya yang memuat Bab Khilafah dianggap ancaman terhadap Pancasila. Mengapa zaman makin maju tetapi cara pikir kok makin mundur? Mengapa ide tidak didialektikan dengan ide lainnya, tapi dipersekusi dengan hukum? Menghukum pemikiran atau ide dengan hukum kekuasaan adalah ciri kemunduran peradaban.

Maksud saya begini. Silahkan bertarung dalam Pilpres ini, tapi jangan menyebarkan informasi dan propaganda hoax. “Jika Jokowi – Ma’ruf Amin kalah, maka berarti Pancasila berada dalam bahaya, NKRI terancam bahaya, Pancasila kalah, Indonesia akan menjadi Suriah.” Itu hoax. Sama nistanya dengan hoax yang menyatakan “Jokowi PKI, sehingga kalau Jokowi terpilih maka komunis akan berkuasa.” Itu pembodohan terhadap publik. Dikiranya publik itu bodoh.

Jadi, kalian tidak bisa membohongi kaum golput dengan propaganda palsu murahan itu. Jadilah orang yang baik-baik. Negara tidak akan bisa tentram dan rakyatnya tidak bisa bersatu jika dipimpin oleh manusia-manusia produsen, distributor dan pemasar hoax alias para tukang bohong.

Apalagi yang sudah tua-tua, saya sarankan segera bertobat. Daripada ikut ikutan politik yang tidak sehat penuh dusta dan hayalan-hayalan buruk itu, mending tenang di rumah momong cucu, ngajari anak-anak kecil mengaji. Jangan menambah-nambahi dosa. Piye Mbah?

Rabu, 13 Maret 2019

Golput dalam Pandangan Filsafat Romo Frans Magniz: Menggunakan Ukuran Moral Mana?


                                              Sumber foto: sesawi.net, dari Kompas

Romo Franz Magnis – Suseno, dalam tulisannya di Koran Kompas tanggal 12 Maret 2019 mengemukakan pendapatnya bahwa harus ada alasan sah untuk tidak memilih (golput), misalnya karena TPS terlalu jauh maka biaya untuk ikut memilih menjadi mahal, atau karena harus merawat seseorang yang tidak dapat ditinggalkan. Jika Anda tidak mempunyai alasan yang sah untuk golput, maka Anda mungkin bodoh, atau berwatak benalu, kurang sedap, atau secara mental tidak stabil, Anda seorang psyco-freak.

Saya heran, mengapa tulisan “uring-uringan” semacam itu kok dimuat oleh media sebesar Kompas? Pendapat dan tuduhan Romo Magniz kepada umat golput itu setara dengan ujaran kebencian kepada golongan warga yang tidak mempergunakan hak pilihnya. Tapi tentu saya tidak setuju jika pendapat, yang meskipun mengandung tuduhan yang kasar, dilaporkan polisi. Akan jadi apa negara ini jika sedikit-sedikit lapor polisi terhadap pendapat atau opini seseorang? Ya jadi bangsa sensi, pemarah, tidak bermental bagus.

Tidak biasa ada seorang Romo dan Guru Besar yang bahasanya kasar dengan menggunakan kata “bodoh”, “berwatak benalu”, “mental tidak stabil.” Lagian tanpa menjelaskan secara ilmiah tuduhan semacam itu. Kalau orang ndeso seperti saya yang lahir di dusun di tengah hutan ini mungkin masih bisa dimaklumi jika misalnya menggunakan kata-kata kasar seperti “jancuk”, “bangsat”, “bodoh”, dan lain-lain meskipun itu juga tidak etis.

Menurut Romo Magniz, menggunakan hak pilih dalam situasi sekarang ini adalah wajib secara moral, bukan wajib secara hukum. Alasannya ialah untuk mencegah agar yang buruk jangan berkuasa. Kita tak memilih yang terbaik. Tetapi mencegah yang terburuk berkuasa.

Tetapi sayangnya Romo Magniz juga tidak berani mengungkap, siapa yang dia maksudkan “yang terburuk” dari kedua calon presiden itu, apakah Jokowi atau Prabowo. Karena di dalam tulisan opininya itu Romo Magniz menyatakan, “Kalau Anda menolak Prabowo, pilih Jokowi! meski Anda kecewa dengan Jokowi. Kalau Anda tak mau Jokowi jadi presiden lagi lima tahun ke depan, pilih Prabowo, meski ia jauh dari haparan Anda!”

Kepakaran filsafatnya

Terus terang, saya bukan pakar filsafat. Tapi saya boleh dong menilai dengan ragu terhadap kepakaran filsafat seseorang pakar dan guru besar filsafat, termasuk Romo Magniz. Andai saja saya disuruh berdebat tentang filsafat dengan mahasiswanya Romo Magniz, sudah pasti saya akan nggleput, modar, tak berdaya, kalah telak, kejang-kejang kemampuan. Apalagi debat dengan Romo Magniz, baru melihat orangnya saja saya pasti sudah tak mampu berkata-kata terkena auranya.

Oleh sebab itu saya beraninya hanya membantah Romo Magniz melalui tulisan ini. Tapi jika ada yang memaksa saya untuk berdebat dengan Romo Magniz, maka terpaksa saya mau dengan membawa tongkat untuk pegangan kepercayaan diri.

Pertama, jika Romo Magniz menyatakan bahwa cegahlah yang terburuk untuk berkuasa tetapi dia tidak menunjukkan siapa calon presiden yang terburuk itu dan dengan alasan apa dan bagaimana, tetapi malah menyarankan pilih Jokowi atau Prabowo sesuai dengan penilaian masing-masing, lalu bukankah memang orang bisa berbeda-beda penilaian?

Lalu dalam memberi nilai “buruk” dan “terburuk” kepada dua calon presiden itu akan menjadi nilai yang relatif, sehingga kebenarannya juga menjadi tidak pasti. Ketika Romo Magniz “mewajibkan” kami untuk memilih dengan memberikan ukuran nilai “buruk” dan “terburuk” kepada dua calon presiden yang ada itu, yang hal itu merupakan penilaian “etis”, maka Romo Magniz sama saja dengan mewajibkan seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih untuk menjadi juri, dan bukan lagi orang-orang yang mempergunakan hak politiknya untuk memilih. Padahal seharusnya Romo Magniz bisa menilai sendiri, apakah Jokowi lebih buruk dibandingkan dengan Prabowo, atau sebaliknya, dengan mengemukakannya di dalam tulisannya itu, dengan alasan-alasan tertentu.

Ketika seluruh pemilih tidak mempunyai penilaian yang seragam tentang siapa “yang terburuk”, maka akan ada pemilih yang menilai “Jokowilah yang terburuk”, dan ada pemilih yang menilai bahwa “Prabowolah yang terburuk.” Jika sudah begitu, apa manfaat para pemilih dalam menggunakan hak pilih dengan pertimbangan untuk tidak memilih yang terburuk.

Lalu bagaimana dengan orang yang menilai bahwa keduanya mempunyai kadar yang sama dalam keburukan atau kebaikan? Apakah mereka ini tetap wajib memilih dalam keadaan mempunyai penilaian demikian? Apakah orang-orang demikian harus dianggap bodoh begitu saja, padahal mereka ini mungkin adalah orang-orang yang lebih paham tentang siapa Jokowi dan siapa Prabowo dibandingkan dengan Romo Magniz?

Kedua, Romo Magniz mengatakan bahwa memilih dalam pemilu dalam situasi sekarang adalah kewajiban secara moral, bukan kewajiban secara hukum. Pendapat Romo Magniz ini setidaknya bisa saya bedah ke dalam dua perspektif.

Perspektif pertama adalah tentang aliran atau mazhab pemikiran. Ketika Romo Magniz mengatakan bahwa kewajiban menggunakan hak pilih bukan merupakan kewajiban hukum, tetapi merupakan kewajiban moral, maka Romo Magniz memisahkan antara moral dengan hukum.

Pemikiran Romo Magniz tersebut merupakan corak pemikiran mazhab positivisme ala Auguste Comte dan John Austin di abad ke-19. Ilmuwan hukum penganut mazhab positivisme Hans Kelsen yang dikenal dengan Teori Hukum Murninya, tidak benar-benar berani memisahkan hukum dengan unsur-unsur psikologi, sosiologi, etika, dan teori politik. Kelsen memaklumi pencampuradukan tersebut karena bidang-bidang yang lainnya itu membahas pokok persoalan yang berkaitan erat dengan hukum. Kelsen mengatakan bahwa Teori Hukum Murni berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang tersebut, bukan lantaran mengabaikan atau memungkiri kaitannya, melainkan karena hendak menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi sehingga mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.

Kelsen memang mengatakan, hukum dan moral merupakan jenis norma yang berlainan, namun hukum adalah sebagai bagian dari moral, yang mengidentikkan hukum dengan keadilan. Hukum memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral. Jadi, hukum itu sendiri berarti merupakan moral. Di sisi lain Kelsen memang membedakan moral dengan hukum hanya pada soal “bagaimana cara menegakkannya.” Bedanya adalah bahwa hukum ditegakkan dengan sanksi paksaan, sedangkan moral adalah “sebuah tatanan positif tanpa paksaan.” Dengan pemikiran demikian maka dapat saya katakan bahwa sebenarnya dalam pandangan Kelsen tersebut, hukum adalah moral yang ditegakkan dengan sanksi.

Hukum Indonesia Tanpa Moral?

Lalu, apakah hukum Indonesia merupakan hukum yang terpisah dari moral? Konsensus nasional Indonesia menyatakan bahwa sumber dari segala sumber hukum nasional adalah Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila juga dikatakan sebagai Dasar Filsafat Negara atau philosifische gronslag, yang menjadi sumber nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan. Nilai-nilai Pancasila juga diambil dari nilai-nilai agama.

Pancasila itu sendiri, jika ditinjau dari pandangan Hans Kelsen penganut mazhab positivisme tersebut, bukanlah merupakan hukum, karena Pancasila tidak memuat ketentuan sanksi bagi para pelanggarnya.

Tetapi seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat di negara ini tentu harus bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila, sebab Pancasila adalah sumber segala sumber hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum Indonesia bersumber dari nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan yang merupakan nilai-nilai moral Pancasila, sehingga hukum Indonesia haruslah merupakan moral Pancasila.

Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jadi, hukum Indonesia tidak menganut mazhab positivisme, kecuali di dalam sistem hukum pidana terdapat asas legalitas.

Oleh karena itu, aliran pemikiran positivisme yang dipergunakan Romo Magniz yang membedakan antara kewajiban moral dengan kewajiban hukum untuk memilih dalam pemilu, adalah tidak tepat, sebab hukum yang berlaku di Indonesia adalah moral Pancasila, sepanjang tidak dinyatakan bertentangan dengan konstitusi atau peraturan di atasnya  oleh lembaga yang berwenang.

Perspektif kedua adalah soal sumber nilai moral. Ketika Romo Magniz mengatakan bahwa memilih dalam pemilu presiden dan wakil presiden adalah kewajiban moral (bukan kewajiban hukum), lantas nilai moral itu bersumber dari mana? Apakah hanya bersumber dari logika? Jika Romo Magniz mempergunakan ukuran nilai moral yang bersumber dari luar nilai-nilai Pancasila, lantas nilai moral dari mana, apakah dan bagaimana justifikasinya, karena ini menyangkut demokrasi Indonesia yang tunduk kepada nilai-nilai Pancasila? Jikapun terdapat nilai dari luar Pancasila maka nilai itu harus sesuai dengan nilai Pancasila.

Sumber dari segala sumber hukum yang juga menjadi sumber nilai moral yang dianut di negara ini adalah Pancasila. Artinya begini: Jika peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tidak mewajibkan orang untuk memilih dalam pemilu, maka ketentuan hukum demikian tidak bertentangan dengan moral yang bersumber dari nilai Pancasila.

Jika peraturan yang demikian (tidak mewajibkan orang untuk memilih dalam pemilu) bertentangan dengan moral dalam arti moral Pancasila, maka peraturan tersebut harus dibatalkan. Namun nyatanya peraturan yang tidak mewajibkan orang untuk memilih tersebut (UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu) masih berlaku dan tidak ada masyarakat yang menentang dengan cara mengujinya melalui lembaga yang berwenang.

Jadi, tidak benar jika perbuatan memilih dalam pemilu itu dikatakan tidak wajib secara hukum, tetapi wajib secara moral, karena sumber dari ketentuan hukum tersebut berasal dari nilai Pancasila yang juga menjadi sumber moral bagi bangsa Indonesia. Apakah boleh dan rasional jika dalam hal yang sama kok moral mewajibkannnya tetapi hukum tidak mewajibkannya, padahal sumber nilainya berasal dari sumber yang sama?   

Demikian pendapatku sebagai seorang golputer yang memang melihat kedua calon presiden Indonesia kali ini tidak semata-mata melihat pribadi-pribadi mereka, tetapi dalam melihat kebaikan dan keburukannya dengan melihat sebagai kesatuan-kesatuan golongan masing-masing.

Kekuasaan sebagai presiden tidak mungkin akan dijalankan oleh seorang Jokowi atau seorang Prabowo, melainkan oleh kolektivitas golongan mereka. Oleh sebab itu, orang memilih calon presiden tidak cukup hanya melihat personalitas para calonnya, tetapi juga harus meneliti lokomotif dan gerbong yang dipergunakan mereka dan siapa saja para yang mempunyai peran-peran vital dalam mengusahakan dan tentu akan turut menjalankan kekuasaan itu. Dalam menilai golongan Jokowi dan golongan Prabowo, saya tidak melihat mana yang terburuk.

Justru moral Pancasila ini mendorong saya untuk “harus melakukan apa” daripada “saya tidak boleh melakukan apa” di dalam demokrasi ini. Jika saya sudah dapat “melakukan apa yang seharusnya saya lakukan” maka tidak perlu lagi ada “apa yang tidak boleh saya lakukan”, sebab kewajiban demokrasi telah saya tunaikan, diantaranya adalah mengawasi siapapun yang terpilih menjadi presiden beserta kelompoknya yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan presiden.

Jika ada orang-orang yang dahulu mengatakan Prabowo tidak layak dipilih sebab dia punya kasus penculikan kepada para aktivis reformasi, bukankah setelah Jokowi terpilih menjadi presiden, ternyata selama ini dia tidak membentuk Pengadilan HAM adhoc agar Prabowo diadili?

Bukankah di gerbong Jokowi juga terdapat orang-orang yang tidak lebih baik daripada Prabowo yang diberikan kekuasaan oleh Jokowi?
Bukankah Jokowi juga pernah merasakan jasa Prabowo yang turut mengorbitkan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta?
Jika ada yang dahulu mengatakan bahwa jika nanti Prabowo terpilih menjadi presiden maka akan terjadi represi atau kekerasan kepada rakyat, dan bukankah selama ini itu malah telah terjadi selama Jokowi menjadi presiden?
Jadi, bagaimana aku bisa menilai siapa yang terburuk di antara Jokowi dengan Prabowo, jika ternyata memang keduanya berada di masing-masing gerbong oligarki yang bobotnya tak dapat saya bedakan?

Rezim Jokowi juga melalui UU No. 7 Tahun 2017 dan Mahkamah Konstitusi juga telah menjadi penyebab terbatasnya orang yang dapat dicalonkan menjadi calon presiden, sehingga rakyat tidak banyak mempunyai pilihan dan seolah negara ini kekurangan orang yang layak untuk menjadi presiden.

Salam golput.


Jumat, 22 Februari 2019

Membela Neno Warisman: Tuhan Dia Bukan Tuhanmu

foto ini diambil dari  makassar.tribunnews.com

Sebelum merenung mendalam, sedalam samudera planet Yupiter (emang ada?), orang-orang di medsos sudah ramai-ramai menghakimi Neno Warisman, politisi pendukung calon presiden – wakil presiden Prabowo – Sandi. Mengapa itu terjadi?

Memang, ada warga media sosial facebook yang abnormal. Banyak. Siapa mereka? Contohnya, mereka yang tidak mempunyai kapasitas dalam ilmu hukum, tetapi membuat argumentasi hukum alakadarnya berdasarkan logika yang dimilikinya. Bahkan mereka ini dalam perdebatan ilmu hukum merasa lebih hebat dibandingkan para sarjana hukum, master hukum, doktor hukum. Padahal sekolahnya tidak mendalami ilmu hukum. Mengapa itu bisa terjadi pada mereka? Mereka sedang mabuk kepayang dalam urusan dukung-mendukung dalam pemilu capres. 

Tapi ada baiknya lebih dulu saya beberkan riwayat atau latar belakang kemabukan massal itu. 

Latar Belakangnya: Siapakah Prabowo dan Jokowi?

Sebelum saya membahas doa Neno Warisman yang meniru doa Rasulullah Muhammad SAW dalam Perang Badar itu, saya akan membahas dulu latar belakang doa itu, yakni dengan menjawab pertanyaan: “Siapakah Prabowo dan siapakah Jokowi yang sebenarnya?” Apa kaitannya dengan doa Neno Warisman?

Para pembaca, yang baik dan yang jahat. Termasuk para intelejen: yang baik dan yang jahat. Siapakah Prabowo itu? Dia bukan siapa-siapa. Prabowo sesungguhnya bukan idola bagi masyarakat, bahkan tidak diidolakan oleh para pendukungnya sendiri. Kok bisa begitu? Iya.

Ayo kita buka memori politik masa lalu. Masa lalu itu kadang penting untuk dikenang dan diingat. Ketika pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) kali pertama tahun 2004, ada 6 pasang capres-cawapres, yakni: 1. Jenderal Wiranto – KH Salahuddin Wahid dicalonkan Partai Golkar; 2. Megawati Sukarnoputri – KH Hasyim Muzadi dicalonkan PDIP; 3. Amien Rais – Siswono Yudhohusodo dicalonkan PAN; 4. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) dicalonkan oleh Partai Demokrat, PBB dan PKPI; 5. Hamzah Haz – Jenderal Agum Gumelar dicalonkan PPP; dan KH Abdurrahman Wahid – Marwah Daud Ibrahim dicalonkan PKB.

Dari enam pasang capres-cawapres tersebut, pasangan Gus Dur – Marwah Daud Ibrahim dinyatakan tidak lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebab Gus Dur tidak lolos tes kesehatan atas rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Gus Dur kecewa, menggugat KPU dan IDI ke Pengadilan, tetapi upaya hukumnya gagal. Pada waktu itu, oleh karena Gus Dur gagal lolos menjadi capres dalam pilpres 2004 itu, maka dia menyatakan mendukung adiknya, KH Salahudin Wahid sebagai cawapres yang berpasangan dengan Wiranto. Namun pasangan Wiranto – KH Salahuddin Wahid kalah dan tidak lolos ke putusan kedua dalam pilpres 2004 tersebut, sehingga Gus Dur memutuskan untuk golput alias tidak mendukung pasangan capres-cawapres yang lolos ke putaran kedua, yakni Megawati – KH Hazim Muzadi yang melawan  SBY – JK.

Dalam putaran kedua itu SBY – JK memenangkan pilpres 2004, sehingga SBY – JK menjadi presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat dalam sejarah politik di Indonesia.

Pada waktu itu, tahun 2004, Prabowo dan Jokowi di mana? Prabowo di tahun 2004 masih di Golkar. Tapi di internal Golkar itu, Prabowo kalah pengaruh melawan Wiranto yang lolos konvensi menjadi bakal calon presiden yang diusung Partai Golkar. Lha Jokowi di tahun 2004 itu baru menjadi pengurus DPC PDIP Solo. Tahun 2005 barulah Jokowi menjadi Walikota Solo berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo. Waktu itu Jokowi belum populer. Dia terpilih menjadi Walikota Solo dengan perolehan suara hanya sekitar 36,62%. Setelahnya, media massa gencar memberitakan “kehebatan” Jokowi sebagai Walikota Solo.

Pilpres tahun 2004 itu, siapakah yang tidak kenal Megawati, puteri Presiden Sukarno yang sangat populer sejak zaman Orde Baru itu. Bahkan saat masih mahasiswa, di zaman Orde Baru, saya pengagum Megawati, pernah berkirim surat dukungan kepadanya untuk terus memperjuangkan demokrasi Indonesia. Tapi ketika Megawati menjadi presiden setelah Gus Dur dilengserkan, saya agak sebel sama dia. Kebijakan-kebijakannya tidak sesuai yang saya harapkan. Saya juga pernah mengritiknya dengan opini di koran Jawa Pos saat pemerintahannya mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk konglomerat Sjamsul Nursalim dalam kasus korupsi BLBI, dalam rangka penghentian kasus korupsi BLBI yang diselesaikan dengan cara "cengli cengli" itu. Menyebalkan.

Namun, ternyata di pilpres 2004 itu Megawati kalah. Di putaran pertama, Megawati – KH Hasyim hanya memperoleh sekitar 26,6% suara, kalah dengan SBY – JK yang memperoleh sekitar 33,5% suara. 

Di putaran kedua pilpres 2004 itu, Megawati – KH Hasyim hanya mendapatkan 39,3% suara. Mereka kalah telak dengan SBY – Kalla yang meraup 60,6% suara. Rakyat mayoritas percaya kepada SBY – JK untuk menjadi presiden.

Mengapa Megawati yang populer sejak zaman Orde Baru itu tidak lagi dipercaya oleh mayoritas rakyat untuk menjadi presiden, dibandingkan dengan SBY yang tadinya di zaman Orde Baru adalah “jenderal yang tidak terkenal”, kecuali hanya dikenal di kalangan para aktivis demokrasi? 

Ya. Rakyat sedang mencari juru selamat negara, setelah Megawati dinilai tidak berhasil, sebagai presiden sebelumnya. Tetapi mengapa pilihan rakyat kok pada SBY – JK, kok bukan kepada Wiranto, atau para kyai NU semacam KH Salahudin Wahid dan KH Hasyim Muzadi yang juga populer di kalangan umat NU?

Ternyata, ketokohan NU dalam riwayat politik nasional ini, meskipun dipadukan dengan ketokohan nasionalis populer seperti contohnya Megawati itu, tidak terlalu menentukan suara rakyat mayoritas.
Lalu sosok yang bagaimana yang dicari oleh rakyat Indonesia ini? Ternyata tokoh populer semacam Amin Rais pun juga tidak diminati rakyat untuk menjadi presiden. Nah.....

Selanjutnya, di pilpres tahun 2009 inilah Prabowo muncul di pentas politik nasional dengan menggunakan Partai Gerindra yang didirikannya pada Februari 2008. Tahun 2009 adalah tahun kemesraan PDIP – Gerindra, yang mengusung Megawati – Prabowo sebagai capres-cawapres yang juga didukung oleh beberapa partai gurem seperti Partai Kedaultan, Partai Pakar Pengan, Partai Marhainisme, Partai Buruh, PSI (bukan PSI-nya Grace Natalie loh ya..), dan Partai Merdeka.

Pada waktu itu Megawati – Prabowo melawan para capres-cawapres lainnya, yakni pasangan JK – Wiranto yang diajukan oleh Partai Golkar dan Partai Hanura; serta pasangan SBY – Budiono yang dicalonkan oleh Partai Demokrat, PKS, PPP, PAN, dan PKB yang didukung oleh 18 partai kecil termasuk PBB, PDS, PKPI, dan lain-lain.

Lagi-lagi dalam pilpres 2009 itu SBY menang telak dari lawan-lawannya dengan memperoleh 60,8% suara. Megawati – Prabowo hanya memperoleh 26,79% suara. JK – Wiranto hanya mendapatkan 12,4% suara. Kemenangan SBY yang terpilih sebagai presiden selalu dengan perolehan suara yang meyakinkan. Dua kali Megawati selalu kalah telak melawan SBY yang pernah menjadi menterinya.

Bayangkan, Prabowo di tahun 2009 berpasangan dengan tokoh populer seperti Megawati itu, ternyata hanya mendapatkan 26,79% suara. Jadi, Prabowo itu tidak populer di mata rakyat. Dia bukan siapa-siapa. Prabowo bukan tokoh yang menjadikan masyarakat Indonesia tertarik kepadanya. Dia kalah jauh dalam kepopuleran dibandingkan SBY.

SBY-lah yang menjadi harapan rakyat mayoritas, dipercaya oleh rakyat mayoritas dengan perolehan suara yang cukup meyakinkan, karena SBY dinilai dapat diharapkan menjadi juru selamat bangsa. Meskipun akhirnya banyak kader tokoh partai Demokrat yang ditangkapi KPK dalam kasus suap (korupsi), seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng dan Angelina Sondakh serta Nazarudin yang fenomenal itu. Inilah manusia. Godaan harta dan cinta asmara bisa menjatuhkannya. 

Pada saat itu, tahun 2009 Jokowi sudah sangat populer, menjadi aktor politik yang ditokohkan oleh media massa dengan kisah-kisah kesuksesannya. Pada waktu itu pemerintahan SBY memberikan penghargaan-penghargaan kepada Jokowi, seperti contohnya penghargaan Kota dengan tata ruang terbaik (ke-dua), Pelayanan Prima tingkat nasional, pelaksanaan pengelolaan keuangan yang baik, dan lain-lain. Majalah Tempo juga menobatkannya sebagai salah satu tokoh dari 10 tokoh nasional tahun 2008. Oleh karena itu, saat pemilihan Walikota Solo tahun 2010, Jokowi meraup suara lebih dari 90% dari suara pemilih. Tahun 2010 itu Jokowi sudah sangat populer citra ketokohannya di tingkat nasional. Saat itu, Prabowo masih bukan siapa-siapa, kalah jauh citranya dibandingkan dengan Jokowi.

Singkat cerita, karena ceritanya sudah panjang, Jokowi diorbitkan menjadi Gubernur DKI Jakarta dari usaha bersama kemesraan Megawati dan Prabowo. Bahkan Prabowo pernah mengatakan bahwa dialah yang meyakinkan Megawati agar Jokowi diusung menjadi calon Gubernur DKI Jakarta dengan pasangan Ahok selaku calon wakil Gubernur. Ada yang mengatakan bahwa itu dibiayai oleh Hashim Djoyohadikusumo. Baiklah, setidak-tidaknya waktu itu Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan cara “mokel” dari jabatannya sebagai Walikota Solo adalah tidak luput dari peran Prabowo yang hal itu sudah diakui oleh Jokowi sendiri. Jadi, para pendukung Jokowi apa gak perlu cium tangan Prabowo nih...? Salim gitu? 

Waktu itu barangkali Prabowo memang berharap Megawati dan PDIP akan melaksanakan isi Perjanjian Batutulis 16 Mei 2009, di butir 7 menentukan bahwa Megawati dan PDIP akan mendukung pencalonan Prabowo sebagai capres di pilpres tahun 2014. Tapi ternyata yang namanya janji politik itu sering meleset. Rakyat sudah sering mengalami itu.

Nah, di tahun 2014 itulah, ketika hanya ada dua tokoh yang menjadi calon presiden, yakni Jokowi dan Prabowo, dengan latar belakang riwayat itu, maka mulai muncul polarisasi tajam. Yakni pendukung Jokowi melawan pendukung Prabowo. Para pendukung Jokowi adalah mereka yang mempercayai kehebatan Jokowi sebagai juru selamat rakyat. Maka dalam pilpres tahun 2014 dibuat hayalan oleh para pendukung Jokowi, bahwa kubu Jokowi – JK adalah Pandawa yang sedang melawan kubu Prabowo – Hatta Rajasa (HR) yang digambarkan sebagai pihak Kurawa. Para aktivis HAM dan demokrasi berkampanye agar rakyat tidak memilih Prabowo yang distempel sebagai pelanggar HAM, penculik para aktivis di zaman perjuangan reformasi.

Saya suka dengan tekad para aktivis ini saat mereka melihat di sekeliling Jokowi ada Jenderal Wiranto, Jenderal Hendropriyono, Jenderal Ryamizard Ryacudu, Jenderal Luhut Panjaitan dan tokoh-tokoh Orde Baru lainnya, termasuk JK. Para aktivis itu bertekad, "Kita akan merebut Jokowi dari oligarki itu?" Saya dalam hati meledek, "Yah...menolak orang yang dibilangnya penculik, kok menerima idolanya didampingi si anu si itu tuh... Coba bisa nggak kelak merebutnya." Tapi ledekanku itu tidak buruk juga. Ternyata hingga sekarang para aktivis itu sedikitpun tak mampu menarik tangan Jokowi. Mau merebut gimana?

Kembali pada hal kepopuleran Jokowi. Ada sebagian masyarakat yang tidak suka dengan Jokowi, karena Jokowi dianggap plin plan dalam omongannya. Saat sudah menjadi Gubernur Jakarta, katanya akan menyelesaikan  masa jabatannya selama 5 tahun, tetapi ternyata tidak. Belum lagi soal mobil esemka yang turut mengangkat citranya, ternyata tidak ada juntrungannya. Belum lagi ditambah adanya informasi fitnah bahwa Jokowi itu PKI dan sebagainya.

Jadi, dengan membaca riwayat tersebut, sesungguhnya para pendukung Prabowo itu dalam dugaan saya, pada umumnya mereka bukan orang-orang yang mengagumi Prabowo seperti para pendukung Jokowi yang mengagumi Jokowi yang sejak awal citranya dibesarkan oleh media massa. 

Para pendukung Prabowo pada umumnya adalah mereka yang “tidak menyukai Jokowi.” Seandainya lawan Jokowi bukan Prabowo, misalnya Cak Lontong atau Sukiman petani Desa Banggle yang tidak populer itu, lalu diorbitkan di pentas politik nasional untuk melawan Jokowi, maka orang-orang yang tidak suka dengan Jokowi akan mengelu-elukan Sukiman itu dan menganggap Sukiman sebagai pahlawan yang berani melawan Jokowi.

Dalam pilpres 2014, ternyata kemenangan Jokowi – JK hanya sekitar 53,15% suara dan Prabowo – HR dengan 46,85%. Pada waktu itu golput mencapai sekitar 30,4% dari suara pemilih terdaftar. Jumlah pemilih terdaftar adalah 190.307.134 orang. Orang yang tidak menggunakan hak pilih berjumlah 58.990.183 orang.

Nah, diantara orang yang mendukung Jokowi dan orang yang tidak menyukai Jokowi inilah ada yang mabuk kepayang, dengan halusinasi tinggi, penuh emosi. Bisa jadi kan Neno Warisman itu termasuk yang mabuk kepayang ingin ganti presiden 2019? 

Tuhan Neno Warisman

Doa Neno Warisman yang membuat dunia medsos ramai itu merupakan doa yang menirukan doa Rasulullah Muhammad SAW pada saat Perang Badar. Sekitar 300 orang pasukan Rasulullah SAW harus menghadapi sekitar 1.000 orang pasukan kafir Quraish dari Makkah. Mungkin saja bahwa Rasululullah SAW berpikir bahwa jika pasukannya kalah maka sudah tidak ada lagi orang yang percaya dengan Islam, dan umat Islam permulaan itu akan punah. Makanya Rasulullah SAW berdoa, itinya: “Ya Allah jika kami tidak menang maka tidak akan ada lagi orang yang menyembahMu!”

Apa makna dari doa Rasulullah SAW itu? Jadi, Tuhan orang Islam itu bukanlah Tuhan yang dipercaya oleh kaum kafir Quraish Makkah itu. Makanya di dalam Islam ada ayat lakum dinukum waliyaddiin. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Silahkan saja kau menyembah tuhan yang kau percaya, aku menyembah Tuhanku yang aku yakini. Jadi, Tuhan dalam pandangan Islam tidak sama dengan Tuhan yang diyakini oleh agama lain. Meskipun ada yang mencoba menganalogikan orang buta yang menilai bentuk gajah, ya itu tidak berguna, sebab memang tidak begitu adanya. Mana ada orang beragama dibilang buta dalam akidah?

Saat Tuhan umat Yahudi dinilai sudah berbeda karakter dalam pandangan golongan Yahudi lainnya, maka muncul Yesus yang kemudian diyakini sebagai juru selamat sehingga muncul konsep ketuhanan baru yang disebut Kristen itu. Tentu saja orang yang beragama Yahudi tidak menyembah Yesus yang dipercaya oleh orang Kristen sebagai Tuhan. Begitu pula orang Islam tidak mungkin menyembah Yesus. Orang Kristen juga tidak pergi ke kuil untuk menyembah Dewa. Jadi, Tuhan dalam keyakinan masing-masing agama itu berbeda. Lha wong Tuhan dalam agama yang sama saja bisa yakini berbeda. Orang Syiah menilai Allah meridhoi golongannya, tapi orang Sunni menilai Allah melaknat orang Syiah.

Nah, oleh sebab itu, Neno Warisman yang sedang berdoa dalam doanya itu, janganlah dinilai bahwa Tuhan yang diyakini olehnya adalah Tuhanmu. Belum tentu. Kalian para orang pintar ini kadang-kadang lucu dan GR, gegedean perasaan. Lalu kenapa kalian meyakini bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Neno Warisman?

Mungkin ada yang bertanya, bukankah sila ke-1 Pancasila itu Ketuhanan Yang Maha Esa? Jadi Tuhan itu hanya satu. Iya. Tuhan Esa. Tak perlu harus Maha Esa. Jika ada Maha Esa, mengapa tidak ada maha dua yang bukan Tuhan? Jadi, andaikan perumus Pancasila itu cukup merumuskan “Ketuhanan Yang Esa” itu lebih pas. Kalau besar, layak jika Tuhan Maha Besar. Kalau kuasa, layak jika Tuhan Maha Kuasa. Tapi kalau Satu, kenapa harus ada Tuhan Maha Satu? Memang jumlah yang hanya satu itu bisa dibuat menjadi maha?

Tuhan Satu itu menurut keyakinan penganut monoteisme. Tapi siapa Tuhan Yang Satu itu, hal itu ada di dalam bayangan atau keyakinan masing-masing pemeluk agama. Tidak mungkin Tuhan Yang Satu itu mempunyai Kepribadian dan ciri yang berbeda dan bahkan berlawanan. Oleh sebab itu, bisa jadi pula bahwa Tuhan Yang satu dalam bayangan dan keyakinan Neno Warisman itu berbeda dengan Tuhan Yang Satu dalam bayangan dan keyakinan kalian. Jadi, hentikan ke-GR-an itu! Jangan ikut-ikutan dengan Neno Warisman yang sedang GR yang menganggap Tuhan yang dipercayai Neno adalah Tuhan kalian. 

Artinya, mungkin dalam keyakinan Neno Warisman, Tuhan para orang yang tidak menyukai Jokowi itu berbeda dengan Tuhan umat yang mendukung Jokowi. Jika sampai Jokowi menang maka orang tidak akan percaya lagi dengan Tuhan yang diyakini oleh Neno dan umat lainnya yang tidak menyukai Jokowi. Karena dalam pandangan Neno Warisman, Tuhan Neno Warisman itu juga tidak suka dengan Jokowi, bagaikan Tuhan yang tidak suka dengan Raja Firaun. Kira-kira begitu keyakinannya. 

Lalu apa kaitannya dengan riwayat kepopuleran Jokowi dan “ketidakpopuleran” Prabowo itu? Jadi begini. Saya sudah sampaikan bahwa para pendukung Jokowi banyak yang mabuk kepayang dan para orang yang tidak menyukai Jokowi juga banyak yang mabuk kepayang pula.

Zaman dahulu ada ulama yang mabuk kepayang dengan keyakinannya seperti Al-Hallaj yang di dalam ekstasenya dia bilang, “Ana Al-Haq.” Al-Haq itu ya Allah Yang Maha Benar. Akhirnya dia dipenjarakan, lalu dituduh sebagai penghasut pemberontakan kepada Kekhalifahan Abbasyiah yang berpusat di Baghdad, sehingga dia dihukum mati secara keji dan mengenaskan oleh kekuasaan politik. Padahal penguasa yang memenjarakan dan menghukum mati Al-Hallaj itu tidak mengetahui maksud perkataan Al-Hallaj itu. Tapi karena penguasa saat itu juga mabuk kepayang maka terjadilah seperti itu. 

Nah, Neno Warisman barangkali juga termasuk yang sedang ekstase, mabuk cita-cita, agar di pilpres 2019 ini nanti Jokowi kalah, sehingga Prabowo yang menjadi presiden. Coba perhatikan, tagar politik yang selama ini terkenal adalah “2019GantiPresiden” dan bukan tagar “PrabowoPresiden-2019.” Dilihat dari makna tagar “2019GantiPresiden” itu, artinya “yang penting 2019 ganti Presiden", "yang penting bukan Jokowi.” Tapi karena lawan tandingnya hanya Prabowo maka Prabowo lah yang dielu-elukan diharapkan menjadi pahlawan untuk menggantikan Jokowi.

Prabowo tidaklah seperti SBY yang tidak sekadar diharapkan masyarakat pendukungnya untuk mampu menghadang Megawati, tapi SBY itu juga dinilai gagah dan ganteng oleh banyak para wanita, menjadi idola, sesuai penilaian William Lidle, pengamat politik Indonesia saat itu. Prabowo adalah “alat” atau subyek tumpuan ganti presiden 2019 bagi para orang yang tidak menyukai Jokowi. Makanya para pendukung Prabowo tidak terlalu peduli amat siapa Prabowo itu.

Jika kemabukan massal itu terus berlangsung, ini akan menjadi NKRI = Negeri Kemabukan Rat-berat Indonesia. Oke.